Dulu, aku terobsesi pada banyak hal. Bermimpi seolah dunia
ini milikku. Segala hal ingin kukerjakan. Bahkan yang berbanding terbalik
dengan latar belakangku. Aku ingin menjadi guru. Menyebarluaskan ilmu yang kuanggap
diriku ahli didalamnya. Tetiba aku berubah pikiran. Tertarik pada dunia glamor
para model dan desainernya. Aku ingin menjadi desainer fesyen, pengarah gaya,
atau apapun yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebaliknya, aku melamar
pekerjaan sebagai penulis. Bukan sebaliknya justru, itu memang latar
belakangku. Hanya saja, setelah berkutat dengan banyak impian, lagi-lagi
aku kembali ke asalku. Plin plan.
Tapi, kini, aku hanya terobsesi pada pagi. Pagi yang selalu
kutunggu-tunggu. Pagi, yang membuatku seolah tidak membutuhkan tidur. Aku ingin
pagi, pagi, dan selalu pagi. Aku tak punya alasan pasti. Yang aku tahu, aku
satu-satunya. Aku satu-satunya orang pertama yang ia tatap saat ia membuka
mata. Dan ia satu-satunya orang yang selalu kusambut bangunnya.
Kami jarang berkata-kata. Hanya saling tersenyum, saling
menyapa, saling mengadu betapa dalam rindu yang kami rasakan berdua, semuanya
hanya lewat tatapan. Dan kami tahu itu. Hingga hening menjadi orang ketiga
diatara kami, kami masih tetap saling menatap.
Aku menyukai kesunyian. Aku suka pagi yang tenang. Ia pun
tahu itu. Aku tak akan bersuara, aku tak ingin ia terbangun. Tapi ia, selalu
tahu aku. Tahu sentuhan tanganku. Bahkan tahu hawa langkah kakiku. Dan ia pun
mencari-cari tanganku, ia senang merasakan kehangatannya.
Menunggunya benar-benar terjaga, aku selalu menghabiskan
waktu dengan mengambil gambar. Aku suka langit. Dan aku suka mengambil
gambarnya. Perpaduan biru langit dengan putihnya awan benar-benar membuatku
makin mencintai pagi.
Terlalu dalam aku mencintai pagi, terlalu dalam khayalanku
tentangnya hingga aku tak sadar jika ternyata ia sudah menungguku dengan dua
gelas kopi disampingnya. Ya, kami menyukai kopi. Tak lengkap pagi kami tanpa asap
membumbul pertanda aroma kopi baru diseduh.
Saat-saat inilah yang paling kami nantikan, setiap paginya. Dimana
hanya ada kami berdua. Dan dimana kami hanya bisa berdua. Sebelum ia menjadi
milik orang lain, dan sebelum jari-jariku menggeliat bersama tulisan-tulisan yang
selalu dikejar deadline.
Kami tak banyak berbicara. Aku menatap langit, dan ia
terhanyut dalam kenikmatan cerutu kesayangannya. Terkadang, aku mencuri waktu,
untuk sekedar menatapnya. Ia pun melakukan hal yang sama. Menatapku, dalam,
saat aku lengah.
Hingga akhirnya kami kepergok saling menatap. Dan hanya akan
terus menatap, hingga beberapa saat. Yang aku heran, hampir setiap hari aku
menatapnya, tapi rasa bosan tak pernah menghampiriku. Kau tahu? Kami berbicara,
sebenarnya. Lewat tatapan.
Aku tak pernah menyangka sebelumnya jika ternyata tatapan
dapat begitu berarti. Sedalam ini. Sehangat ini. Hanya tatapannya, yang
kurasakan ada ketulusan. Dan semua itu hanya terjadi dan kudapat di pagi hari.
Dan aku harus melewati malam yang menyiksa batinku untuk
kembali merasakan pagi.
Mungkin menurutmu aku terlalu berlebihan.
Tapi bagaimana jika kau diposisiku.
Bagaimana jika setiap hari kau harus berpura-pura baik-baik
saja.
Bagaimana jika kau harus bertingkah seolah kau kuat.
Bagaimana jika kau harus menahan rasa.
Bagaimana jika tanganmu tertahan untuk menyentuhnya.
Dan bagaimana jika bukan tatapanmu yang dibalasnya karena ia
harus melakukan yang sama, yaitu berpura-pura.
Sekarang, bisakah kau gambarkan rasa hatimu?
Ya, pagi. Hanya pagi teman terbaikku. Ia yang mendukung
semua perasaanku. Ia yang menyatukan tatapanku dengannya. Ia yang menjadi
alasan mengapa kami bisa berpura-pura. Pagi, hanya pagi. Dan itu pagi.