write and dress up for identity

Kamis, 05 Februari 2015

Menunggu Pagi



Dulu, aku terobsesi pada banyak hal. Bermimpi seolah dunia ini milikku. Segala hal ingin kukerjakan. Bahkan yang berbanding terbalik dengan latar belakangku. Aku ingin menjadi guru. Menyebarluaskan ilmu yang kuanggap diriku ahli didalamnya. Tetiba aku berubah pikiran. Tertarik pada dunia glamor para model dan desainernya. Aku ingin menjadi desainer fesyen, pengarah gaya, atau apapun yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebaliknya, aku melamar pekerjaan sebagai penulis. Bukan sebaliknya justru, itu memang latar belakangku. Hanya saja, setelah berkutat dengan  banyak impian, lagi-lagi aku kembali ke asalku. Plin plan.

Tapi, kini, aku hanya terobsesi pada pagi. Pagi yang selalu kutunggu-tunggu. Pagi, yang membuatku seolah tidak membutuhkan tidur. Aku ingin pagi, pagi, dan selalu pagi. Aku tak punya alasan pasti. Yang aku tahu, aku satu-satunya. Aku satu-satunya orang pertama yang ia tatap saat ia membuka mata. Dan ia satu-satunya orang yang selalu kusambut bangunnya.

Kami jarang berkata-kata. Hanya saling tersenyum, saling menyapa, saling mengadu betapa dalam rindu yang kami rasakan berdua, semuanya hanya lewat tatapan. Dan kami tahu itu. Hingga hening menjadi orang ketiga diatara kami, kami masih tetap saling menatap.

Aku menyukai kesunyian. Aku suka pagi yang tenang. Ia pun tahu itu. Aku tak akan bersuara, aku tak ingin ia terbangun. Tapi ia, selalu tahu aku. Tahu sentuhan tanganku. Bahkan tahu hawa langkah kakiku. Dan ia pun mencari-cari tanganku, ia senang merasakan kehangatannya.

Menunggunya benar-benar terjaga, aku selalu menghabiskan waktu dengan mengambil gambar. Aku suka langit. Dan aku suka mengambil gambarnya. Perpaduan biru langit dengan putihnya awan benar-benar membuatku makin mencintai pagi.



Terlalu dalam aku mencintai pagi, terlalu dalam khayalanku tentangnya hingga aku tak sadar jika ternyata ia sudah menungguku dengan dua gelas kopi disampingnya. Ya, kami menyukai kopi. Tak lengkap pagi kami tanpa asap membumbul pertanda aroma kopi baru diseduh.

Saat-saat inilah yang paling kami nantikan, setiap paginya. Dimana hanya ada kami berdua. Dan dimana kami hanya bisa berdua. Sebelum ia menjadi milik orang lain, dan sebelum jari-jariku menggeliat bersama tulisan-tulisan yang selalu dikejar deadline.

Kami tak banyak berbicara. Aku menatap langit, dan ia terhanyut dalam kenikmatan cerutu kesayangannya. Terkadang, aku mencuri waktu, untuk sekedar menatapnya. Ia pun melakukan hal yang sama. Menatapku, dalam, saat aku lengah.

Hingga akhirnya kami kepergok saling menatap. Dan hanya akan terus menatap, hingga beberapa saat. Yang aku heran, hampir setiap hari aku menatapnya, tapi rasa bosan tak pernah menghampiriku. Kau tahu? Kami berbicara, sebenarnya. Lewat tatapan.

Aku tak pernah menyangka sebelumnya jika ternyata tatapan dapat begitu berarti. Sedalam ini. Sehangat ini. Hanya tatapannya, yang kurasakan ada ketulusan. Dan semua itu hanya terjadi dan kudapat di pagi hari.

Dan aku harus melewati malam yang menyiksa batinku untuk kembali merasakan pagi.

Mungkin menurutmu aku terlalu berlebihan.

Tapi bagaimana jika kau diposisiku.

Bagaimana jika setiap hari kau harus berpura-pura baik-baik saja.

Bagaimana jika kau harus bertingkah seolah kau kuat.

Bagaimana jika kau harus menahan rasa.

Bagaimana jika tanganmu tertahan untuk menyentuhnya.

Dan bagaimana jika bukan tatapanmu yang dibalasnya karena ia harus melakukan yang sama, yaitu berpura-pura.

Sekarang, bisakah kau gambarkan rasa hatimu?

Ya, pagi. Hanya pagi teman terbaikku. Ia yang mendukung semua perasaanku. Ia yang menyatukan tatapanku dengannya. Ia yang menjadi alasan mengapa kami bisa berpura-pura. Pagi, hanya pagi. Dan itu pagi.